Thursday, February 3, 2011

a little story :)

“Ya ampun IP gue kok kecil banget ya, Cuma 3,2”
“Eh mending lagi IP lo 3,2 ! IP gue mentok di 3,18”
“Hey gimana nilai lo?”
“3,83. Gak sesuai target nih, padahal target gue 4 loh”

     Suara-suara itu terdengar di selasar lantai dua kampus Adinda. Hari ini ada pembagian kartu hasil studi di jurusannya, dan teman-temannya sedang senang membahas IP mereka dan membandingkannya satu sama lain.

     Adinda menjauh dari gerombolan teman-temannya dan memilih duduk di ujung lorong lantai dua ini.

2,92

     Adinda memandangi angka yang tertulis di kertas yang ia pegang. 2,92? Kenapa hanya segini batinnya. Kertas yang ia pegang adalah kartu hasil studinya semester ini. Adinda begitu kecewa karena IP-nya tidak menembus angka tiga.

     Adinda segera melipat kembali kertas itu sebelum air matanya membasahi kertas yang berisi nilai-nilai hasil perjuangannya semester ini. Ia begitu kecewa dengan hasil yang ia dapat. Ia segera bergegas pulang ke kosan dan merenungi nasibnya di sana. Ia tidak ingin berlama-lama di kampus untuk menghindari pertanyaan dari teman-temannya.

    Ketika sampai di kosan, teman-teman kosannya sedang sibuk membahas masalah IP. Ketika melihat dinda datang, teman-temannya langsung menanyakan IP-nya, tapi adinda hanya menjawabnya dengan senyuman. Sepintas ia dengar, meida teman kos-nya yang kuliah di fakultas ekonomi mendapat IP 3,5.

***

     Setelah shalat dzuhur, Adinda termenung lama di kamarnya. Ia masih memikirkan nilainya yang tidak sesuai harapan. Pada awal masuk kuliah di semester ini, ia menargetkan IP-nya sebesar 3,5. Yaah ini kan masih semester pertama, pelajarannya masih mengulang pelajaran SMA! Pikirnya waktu itu.

     Karena ia merasa stress dan suntuk di kosan, adinda memilih pergi berjalan-jalan sejenak untuk melupakan masalahnya. Kemana lagi tujuannya selain ke Ambarukmo Plaza? Mall ini adalah mall terbesar di kotanya, tempat favoritnya untuk berjalan-jalan di akhir pekan. Tanpa sadar ia sudah turun dari taksi yang membawanya kesini, dan berjalan ke arah toko buku yang ada di mall ini.

     Adinda berjalan sambil melamun, ia tidak sadar ketika di depannya ada orang yang sedang berjalan ke arahnya. Tanpa sengaja mereka bertabrakkan dan ia menjatuhkan barang bawaan orang yang ditabraknya.

     “Maaf mas, saya gak sengaja! Tadi saya gak melihat mas berjalan ke arah saya. Maaf ya mas !” Adinda meminta maaf sambil merapikan barang bawaan orang yang di tabraknya. Kayaknya gue kenal deh wangi parfum ini, batinnya. Ketika ia mengangkat wajahnya, adinda melihat laki-laki yang bertabrakan dengannya itu tersenyum ke arahnya.

     “Kak Yudha?” Ternyata ia bertabrakan dengan Yudha, kakak tingkatnya di kampus yang pernah menjadi pemandu kelompoknya ketika ia ospek dulu.

     “Hai dinda, kamu lagi banyak pikiran ya? Kok jalan sambil melamun sih?” kata kak yudha sambil tersenyum ke arah adinda.

     “Ah enggak kok kak! Eh kakak abis dari mana? Dari toko buku ya?”

     “Iya nih abis beli buku sekalian lihat-lihat majalah disana, kan lumayan untuk refreshing!”

     “Oh, gitu ya. Yaudah ya kak, aku pergi dulu” Adinda bergegas pergi meninggalkan Kak Yudha, namun ia merasa ada yang menarik tangannya. Ternyata Kak Yudha menahannya.

     “Dinda, …”

     “Ya kak?” Tanya dinda bingung.

     “Gak ada yang mau kamu certain ke kakak?” Kak Yudha menatapnya dengan lembut dan teduh.

     “Cerita? Cerita apa ya kak? Eh, nggak ada kok! Nggak ada!” jawab dinda gugup.

     “Kamu yakin din? Kamu tahu kan din, kakak selalu bersedia dengerin cerita kamu”

***

     Entah atas ide siapa, mereka sekarang sudah duduk berhadapan di salah satu coffee-shop yang juga menyediakan donat di mall ini. Adinda juga sudah menceritakan mengenai hal yang membuatnya sedih dan galau hari ini. Kak Yudha mendengarkannya dengan sabar dan penuh perhatian. Ya, Kak yudha memang pendengar yang baik dan Adinda menyukai hal itu.

     “Jadi itu masalahnya, sampai-sampai kamu berkeliling di mall ini sambil melamun?”

     “Iya kak, aku begitu kecewa dengan nilaiku sampai-sampai aku gak tau apa yang harus aku lakukan”

     “Kamu jangan memikirkan IP sampai segitunya dong din. IP itu memang penting, tapi jangan sampai karena memikirkan IP-mu, kamu jadi linglung kayak gini” Kak Yudha menasehati sambil menyeruput iced-cofee nya.

     “Linglung? Enak aja! Aku gak segitunya kaleee!” Adinda menjawab dengan sebal.

     “Hehehe, jangan ngambek gitu dong din! Kamu jadi tambah manis deh kalo lagi ngambek” Kak Yudha tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah adik tingkatnya ini.

    “Basi tau ! lagian juga ih ngapain sih kakak senyum-senyum? Seneng ya IP-ku jelek? Kak Yudha seneng kan?”

     “Ih ngambeeeek! Nggak kok, lucu aja liat kamu ngambek kayak gitu ! lagian dengerin kakak ya din. Kamu jangan sampai jatuh terpuruk gitu hanya karena IP-mu! 2,92 sudah lumayan kok din”

     “Gampang bilang begitu, buat kakak yang setiap semester IP-nya terancam 4! Tapi buat aku?”

     “Kok kamu gitu sih ngomongnya? Din, denger ya. Kakak akui sekarang IP kakak memang bagus, bahkan IPK kakak juga diatas 3,5. Tapi kamu tahu? Kakak juga pernah merasakan IP rendah, malah lebih bagus IP kamu daripada IP kakak waktu itu!”

     “Masa’ sih? Aku gak percaya kakak pernah dapet IP jelek. Bahkan lebih jelek dari IP-ku sekarang. Gak mungkin banget kak! Ini Kak Yudha gitu loh!”

     “Kenapa nggak din? Ini serius, kakak pernah dapet IP 2,79! Kejadiannya sama seperti kamu, semester satu juga. Waktu itu kakak memang kurang serius dalam belajar sampai-sampai nilai kakak gak sesuai harapan. Waktu itu kakak terlalu sibuk memikirkan kenapa kakak masuk jurusan ini? Kenapa kakak gak kuliah di jurusan itu saja? Atau di universitas itu saja? Dan hal-hal seperti itulah yang membuat kakak melupakan keseriusan kakak dalam belajar, sampai akhirnya kakak melewatkan kesempatan mendapatkan IP bagus di semester satu”

     “Terus gimana ceritanya sampai kakak kok bisa dapet IP bagus kayak sekarang ini?”

     “Ehm, waktu itu sih kakak sempet down juga, tapi kakak sadar kakak tidak akan merubah IP jika hanya menyesali  keadaan seperti itu. Jadi kakak buka-buka lagi mata kuliah yang belum lulus. Kakak pahami betul isi materinya, jadi kalaupun harus mengulang kakak bisa dapat nilai A di mata kuliah itu. Dan semester berikutnya kakak betul-betul serius kuliah. Pelajari betul-betul apa yang diajarkan dosen, dan belajar kepada orang lain jika ada materi yang kakak tidak mengerti. “

     “Jadi masih ada harapan ya buat aku untuk terus melangkah di jurusan ini?”

     “Jelas masih dong! Kalau ibarat rumah, sekarang tuh kamu masih di ruang tamunya, ini masih permulaan, perjalanan kamu masih panjang kok! Dan kamu tahu Haris angkatan 2007?”

     “Iya tau, yang dapet beasiswa ke jepang itu kan?”

     “Yup! Bahkan seorang Haris Ramadhan saja pernah loh merasakan IP 2,75. Dan dia pernah bilang bangkit dari keterpurukan dan terus melangkah maju adalah hal terbaik dalam hidupnya.” Kata Kak Yudha sambil tersenyum.

     “Serius kak? Waaah aku jadi semangat lagi. Aku kira IP-ku ini adalah akhir dari segalanya. Makasih ya kak udah mau dengerin cerita aku. Aku jadi semangat lagi dan gak putus harapan. Hehe.”

    “You are welcome! Kakak kan udah bilang, kamu bisa cerita apa aja ke kakak! Lagian buat kamu, apa sih yang enggak?” Kak Yudha berkata dengan lembut.

     Adinda hanya bisa tersenyum.
     “Nah, gitu dong udah senyum lagi! Eh kakak mau kasih kamu sesuatu yang bisa bikin senyum kamu lebih lebar lagi!” Kak Yudha tersenyum misterius.

     “Apa kak?”

     “Es Krim Baskin Robbins! Mau kaaaan?”

     “Hahahaha kakak tau aja apa yang aku suka !”

***




No comments:

Post a Comment